Jumat, 21 Februari 2020

Belajar di Kafe Sastra, Ngopi dan Nginspirasi

Keseharian jadi seorang ibu itu banyak yang bilang membosankan. Motto yang terkenal dapur, sumur, kasur seperti nya menjadi jargon yang dikenang masa. Gimana ga bosan ya, 24jam per 7hari dihabiskan dirumah. Tapi, percaya kah kalau writing is healing. Karena perempuan, khusus nya seorang ibu itu katanya perlu mengeluarkan lebih dari 20.000 kata per hari. Daripada dipakai untuk marahin anak atau suami bisa dong dikeluarkan lewat tulisan. Dan sudah banyak juga nih para ibu yang aktif menulis di blog. Secara Ibu kekinian ya. Hhee… 

Menjadi blogger seperti nya menyenangkan ya. Hanya ketak ketik lalu post dan kita bisa mendapatkan ga hanya sekedar komentar tapi juga pemasukan. Nah,ini pasti menggiurkan banget buat para moms. Tetap stay at home tapi bisa menebalkan kantong dan uang jajan anak. 

Jadilah saya ada disini. Jarak yang lumayan dari Priuk sampai ke Matraman. Dengan cuaca yang mendung-mendung bikin mager. Meninggalkan 3 anak dengan ayah nya,penuh drama. 
Ikut Workshop Advance Blogging di Kafe Sastra Balai Pustaka, Matraman. 

Tapi, sekarang saya bukan mau review tentang be blogger nya nih. Cuma ke tempat acara nya. Kafe Sastra. 

Dengar kata sastra ingat AADC ga siih kalau dengar kata-kata sastra, inget Siti Nurbaya dan karya-karya sastra lainnya. Dan di kafe ini kita akan dimanjakan pasti nya dengan karya sastra yang sangat bermakna. Dengan nuansa yang khas ‘kafe’. Santai, comfort dan menu makanan yang santai tapi tahan lama. Nah,cocok kan untuk me time nya kita para ibu. Terutama ibu-ibu blogger yang mau cari inspirasi sambil tetap bersama keluarga.

Ngebosenin ga ya kalau untuk anak-anak ? 
Gak banget, bahkan untuk yang sudah berkeluarga pun tetap asik. Suami bisa santai-santai ngopi. Anak bisa main,ngemil sambil baca buku kesukaan atau mau keluar lari-larian juga bisa karena ada tamannya juga lho. Jadi,disini Ibu senang, Ayah tenang dan anak-anak juga nyaman. Dan sampai rumah pun kita bisa senang sekeluarga ^^ 

Ditulis sepenuh hati dan secepat kilat dalam blogging workshop bersama RBM Ibu Profesional Jakarta dan Helenamantra 

#BloggingWorkshopRBMIPJakarta




Jumat, 18 Agustus 2017

Jumat, 07 Mei 2010

Katanya anak anugerah ???


Katanya, Anak adalah anugerah.
Tapi, mengapa tak sedikit orangtua
yang kerepotan mengendalikan anak?

Katanya, Anak adalah anugerah.
Tapi, mengapa sebagian ayah
Justru melemparkan tanggung jawab
Perilaku anak hanya pada istrinya?

Katanya, Anak adalah anugerah.
Tapi, mengapa sebagian ibu
Yang memilih membesarkan anak secara penuh,
Justru malah terlihat lelah dan stress menjalankannya?

Katanya, Anak adalah anugerah,
Tapi, mengapa sebagian besar anak
Justru dijatuhkan harga dirinya di rumah?
Dengan disalahkan setiap hari
Dan dimarahi 3x sehari (atau sehari 3x?)

Sebenarnya,
Anak bisa patuh tanpa DITERIAKI
senang berbuat baik tanpa DIMINTA
Anak akan belajar tanpa DIPAKSA
Anak dapat mandiri tanpa DIGURUI
Anak punya ketahanan diri tanpa DIISOLASI

Orangtua Biasa, Memberitahu;
Orangtua Baik, Menjelaskan;
Orangtua Bijak, Meneladani;
Orangtua Cerdas, Menginspirasi
(Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari)

Suka Duka Bidan


Kadangkala banyak orang menyangka bahwa menjadi seorang bidan itu menyenangkan. Mudah mendapatkan uang tanpa harus bekerja terlalu keras. Dengan membuka tempat praktik sendiri, maka uang tidak lagi harus dikejar tapi uang itu sendiri yang menghampiri. Banyak pula para orang tua yang menyarankan anaknya untuk melanjutkan kuliahnya di kebidanan dengan tujuan agar tidak sulit jika nantinya lulus untuk mendapatkan uang. Anggapan-anggapan itu tidaklah salah, namun tidak pula sepenuhnya benar. Prinsip itu tidaklah menjadi dasar atas pilihan semua orang untuk menjadi seorang bidan. Bu haji, itulah panggilan akrab sosok bidan yang kini tinggal di sebuah kampung pinggiran Ibukota Jakarta, Jakarta Utara tepatnya. Ia tak pernah menjadikan uang sebagai motivasi utamanya untuk menjadi seorang bidan. Tapi, entah keinginan kuat darimana yang justru datang mendorongnya untuk jauh-jauh merantau dari tempat kelahirannya di Padang Panjang, Sumatra Barat untuk memenuhi keinginannya menjadi seorang bidan. Perjalanan menjadi bidan pun tak semudah yang dibayangkan, selain faktor ekonomi yang menghambat. Sekolah kebidanan tidaklah menjamur seperti sekarang. Maka, ibu 4 anak ini memulai pendidikannya dengan masuk sekolah perawat. SPR ( Sekolah Pengatur Rawat ) Gatot Subroto menjadi pijakan pertamanya dalam mengenyam pendidikan di Jakarta. Tinggal di asrama para tentara, hidup dengan penuh kedisiplinan waktu serta aturan yang ketat, menjadi syarat sekolah di sana pun dilalui oleh Bu Indrawita, nama lengkapnya. Kini, setelah melengkapi titelnya dengan Am.keb. Beliau senantiasa berusaha untuk menjadi seorang bidan yang lebih profesional. Menghindari tindakan-tindakan malpraktik serta yang melanggar hukum baik hukum negara maupun hukum agama. Tak sedikit pula, pasien yang meminta untuk melakukan aborsi tapi beliau tidak mau melakukannya. Menurut beliau, tanggung jawabnya tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Untuk lebih meningkatkan profesionalismenya, selain bergabung dengan IBI ( Ikatan Bidan Indonesia ), beliau pun sudah menjadi Bidan Delima, komunitas bidan yang sudah dibilang profesional. Menurutnya, ikut bergabung dalam organisasi seperti itu memberikan banyak manfaat, bisa saling berbagi pengalaman serta bertukar pikiran atas masalah yang dihadapi mengenai pasiennya. Seiring dengan bertambahnya umur, bidan meskipun seorang pakar kesehatan tapi tetaplah manusia yang bisa dan rentan dengan penyakit yang menghadang. Osteoporosis, penyakit itu menyerang bidan yang terkenal tegas ini, selain Osteoporosis, batu ginjal pun menyerangnya. Namun, penyakit-penyakit itu tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap melaksanakan kewajiban dan tugasnya. 24 jam waktu yang beliau berikan untuk melayani pasien melahirkan yang datang. Bahkan, terkadang di saat beliau sudah bersiap-siap untuk bertamasya bersama keluarga, dan tiba-tiba pasien datang ingin melahirkan maka beliau pun harus merelakan batalnya rencana tamasya. “ Itulah resikonya jadi bidan. “ Ucap Ibu yang suka merawat tanaman ini. Kesibukan beliau pada pekerjaan seringkali mengurangi waktunya bersama keluarga, tapi itu tidak membuat beliau lupa akan tugas utamanya menjadi seorang ibu rumah tangga. “ Kalau ada waktu, saya suka masak buat anak-anak dan suami. Kadang bosen juga sama masakan pembantu.” Ujar bidan yang suka juga menjadi ustadzah pada pengajian Ibu-ibu di daerahnya. Banyak yang bilang orang Padang itu “ pandai berdagang “. Mungkin, ungkapan itu ada benarnya. Jika datang kerumah bidan ini, selain tempat praktik, disitu pula ada sebuah toko yang menjual peralatan bayi, mainan anak-anak, baju-baju anak bahkan buku bacaan pun ada. Menurutnya, banyak pasien yang lebih suka belanja ditokonya, karena tidak ribet, tidak terlalu ramai dan lebih enjoy dalam memilih. Menghargai waktu, merupakan prinsip Ibu yang tak bisa diam ini. Untuk itu, beliau tak pernah membiarkan waktunya terbuang sia-sia. Beliau pun selalu menyempatkan waktunya untuk membaca buku, terutama buku-buku kerohanian. “ Ilmu saya masih sedikit, jadi kalau gak lebih banyak baca nanti gak nambah-nambah dong. Apalagi otak saya bukan otak orang pintar, butuh banyak baca ! ” Jelasnya. Prinsip yang simple jika dilakukan dengan konsisten maka akan membuahkan kesuksesan juga. Mungkin, kita bisa lebih berkaca pada Ibu yang telah menginjak usia ke-48 ini. Appreciate your time !